=="BERDAULAT SECARA POLITIK, MANDIRI SECARA EKONOMI, BERMARTABAT SECARA BUDAYA==

Selasa, 04 Oktober 2011

Keadilan Iklim Masyarakat Adat di Sekitar Hutan dan Perubahan Iklim

Aliansi Masayarakat Adat Nusantara Kalimantan Tengah, pada tanggal 27 September 2011 mengadakan Diskusi Panel yang berjudul “Keadilan Iklim Masyarakat Adat di Sekitar Hutan dan Perubahan Iklim.” Tujuan diadakannya diskusi ini adalah Terbangunnya persepsi masyarakat tentang keadilan iklim, Adanya penguatan komunitas masyarakat untuk berpartisipasi dalam membuat kebijakan iklim. Membangun komunitas sipil untuk memonitoring dana dan aktifitas perubahan iklim.
            Diskusi ini menghadirkan tiga orang narasumber yakni bapak Arie Vam Rompas dari Walhi Kalteng dengan membawakan Subtema “Inisiatif Lokal dalam Solusi Perubahan Iklim untuk Keberlanjutan Penghidupan Menuju Keadilan Iklim”. Bapak Paulus Alfons Y.D dengan Subtema “Hak-hak Masayarakat Adat dan Perubahan Iklim” yangh mewakili AMAN Kalteng dan ibu Dewi T. Elyana dari kantor pendukung REDD+ dengan Subtema “Pelaksanaan REDD+ di Kalimantan Tengah”
Dalam presentasinya Arie Rompas mengatakan “Indonesia sebagai negara ke tiga di dunia yang menyumbang hanay 17% dari emisi karbondioksida global.” Pada initnya perubahan ilim biacara tentang pangan, air, dll.  Banyak peneliti menyatakan bahwa perubahan iklim itu nyata.? Ini normal cuacanya. Di kampung, siklius tanaman sudah berubah. Oke ini perubahna iklim, penggunanan bahan fosil sama sekali tidak dibicarakan. Bicara tentang akarnya, Indonesia SDA sudah diambil sejak zaman kolonilisme. Saat inikan yang dipakaikan adalah mekanisme offset. Artinya Indonesia dibebankan dengan  utang-utang. SDA Indonesia  diperguankan unutk Ekspor. Jumlahnya 80 %.  Bicara deforestrasi , ini berasal dari pertambanagn perkebunan, dan HPH. Yang mendapatkan keuntungan dalam proyek REDD ini adalah mereka. Contohnya RMU, RRC. Masyarakat yg sudah dari dulu menjaga hutan, malah tidak dilibatkan.  Beberapa solus2 yg diambil sepakat atau tidak sepakat  masalah adatasi dan mitigasi. Tidak mengena akarnya. Jika bicara tentang REDD, kalau secara HTI,  adalah salah satu unutk mengurangi dari Deforestrasi dan Degradasi.  COP-15  2009 dulu di aceh, hari ini bang dunia terlibat dalam pendanaan. Skema perdagangan ini tidak decibel. Di KFCP sudah diuji coba, fakta hari ini terjadi konflik disana, hari in penguasaan di Kalteng dikuasi oleh tambang, perkebuanan, HTI. Keterbukaan infomasi itu tidak ada. Probelmnya REDD ini bicara soal karbon. Pohon itu tidak boleh ditebang, tanah2 , proyek2 ini, tanah2 adat, ini menjadi problem. Perkembangnya REDD ini panjang sekali. Perkembangannya adalah carbonsing, org banyak2 menanam. Adalagi permenhut, sawit dikatagorikan sebagai hutan. Permenhut itu baru satu bulan. Karan bnyak sekali teman2 berteriak disana. Kebijakan pemerintah hutan adat adalah hutan Negara yg berada diwilayah masyarakat hukum adat.
Sedangkan menurut Paulus Alfons Y.D “Penyebab Indonesia sebagai penyumbang CO2 adalah karena kerusakan hutan yang disebabkan pembukaan lahan perkebunan sawit dan pertambangan, Perubahan iklim hadir dalam bentuk pengurangan tanah untuk rakyat (Wilayah Masyarakat yang di kategorikan Hutan menjadi target REDD, Areal Pertambangan dan Perkebunan Swasta tidak di konversi.
Berbarengan dengan itu, skema perdagangan bebas semakin mengikat Indonesia dan sejalan dengan program perubahan Iklim dalam hal Penguasaan Tanah. Struktur Peraturan Perundang-Undangan yang semakin berkarakter ‘Neoliberal”
Pembohongan Publik dalam rangka mendapatkan Utang dan angka Kemiskinan di Indonesia yang di manipulasi..” Dalam pembukaan diskusi Panel Bapak Simpun Sampurna mengungkapkan “Bahwa Masyarakat adat tidak pernah merusak hutan, justru masyarakat adat yang secara turun temurun melestarikan hutan mereka dengan budaya kearifan lokal mereka, dan isu perubahan iklim yang tidak melibatkan masyarakat adat akan menimbulkan konflik yakni ada Dua alasan; Masayarakat adat akan menjadi solusi atau amsyarakat adat akan  menjadi korban apabila mereka tidak diakui.”
Sedangkan menurut narasumber Ibu Dewi T.Elyana “Terpilihnya Kalimantan Tengah, sebagai propinsi percontohan melalui proses seleksi yang ketat. Ada Lima tahap yang akan dijalankan :
1.    Membangun dan memperkuat institusi dan proses.
2.    Mengkaji dan memperkuat kerangka legislatif
3.    Meluncurkan program strategis
4.    Transformasi budaya dan
5.    Pelibatan semua stakeholders.
Bu Dewi Elyana juga menjelaskan singkat tentang hasil Pertemuan Governors Climate Forest bahwa Mungkin secara keseluruhan Negara yg terlibat, mengdeklarasiakan dan sepakat bahwa MA dilibatakan. Dan mengutamakan FPIC.  Program REDD+ ini akan terus disosialisasikan kepada masyarakat luas.

Diskusi Panel ini ini dimulai dari ketiga para narasumber yang saling bertanya, dimulai dari Paulus Alfons Y.D yang menanyakan kepada ibu Dewi, negara Annex1 (negara-negara industri berkembang) yang tidak mau mengurangi emisi, dan membebankan kepada negara-negara dunia ke Tiga (termasuk Indonesia) untuk menjaga hutan. Lalu bagaimana melibatkan masyarakat adat sementara di tingkat komunitas belum ada? Lalu bagaimana Stranas sudah disiapkan sementara Strada belum ada?
Ibu Dewi menanggapi Sejauh ini, kegiatan REDD ini yg diuntungkan adalah perusahaan itu sendiri. Masyakat harus mendapatkan benefit. Kita juga harus memikirkan bagaimana benefit sharingnya? Apa mekanisme yg baiknya.?
Pengelolaan secara Masyarakat, ke depan mengutamakan tentang hutan Adat.  ada hutan adat kemasyarakatan tapi dilapangan ini hutan individual. Mereka sudah ada perorangn tidak lagi komunitas. Itu yg mau saya tanyakan kepada AMAN. 
Soal SSL, sekarang ini kita masuk dalam konsultasi public. Kita sekarang dalam tahap mennunggu masukan.  Garis besarnya sudah ada. Nantinya dikonsultasikan. Setelah di palangka raya, akan dilibatkan ditingkat lapangan. Iini masih draf. Ini sesuai dengan konteks Kalteng.
Kemudian Starada dan starnas, saya meliat figur aksesnya. Terkadang harus adanya Top down, ada bottom up. Kenapa kita melakukan seperti ini, kita harus melakukan suatu acuan. Ini akan disesuaikan dengan karekteristik tempat itu. Stranas, harus Top down, tapi di strada adalah bottom up. Distruktur REDD+ ini, itu melibatkan LSM-LSM atau perwakilan Masyarakat. Lebih kekonteks lokal. Pak Pungki skretariat REDD+ baru, ada mekanisme , ada semacam lembaga. Teman-teman LSM termasuk disininya. Implementasinya harus mendaptkan review dulu dari ini. Yang diluncurkan Bpk Gubernur ini adalah komitmen, dan membutuhkan orang-orang yang berkompeten, dan berkomitmen. Ini yang kita harapkan. Menurut pak sekda, ini menyesuaikan susunan Satgas, sesuai Keppres.
            Diskusi kemudian dilanjutakan kepada para peserta yang bertanya, antara lain menanyakan posisi AMAN apakah menerima atau menolak REDD? Lalu bagaimana penerapan FPIC? Apakah perlu dirubah atau ditambahkan. Narasumebr dari AMAN Kalteng menjelaskan posisi AMAN saat ini menunggu mandat dari komunitas apaakh menerima REDD atau menolak, akan menolak REDD jika hak-hak masyarakat adat diabaikan. Dan saat ini AMAN Kalteng terus mengupayakan untuk menginformasikan REDD+ di Kalteng, prinsip-prinsip dalam FPIC dan Deklrasi PBB tentang Hak-hak masyarakat Adat. Mengenai FPIC akan dirubah atau tidak, hal yang terpenting adalah menginformasikan setiap proyek yang masuk ke wilayah adat dan memberikan ruang bagi masyarakat adat untuk menerima atau menolak sebuah proyek.
            Ibu Dewi juga menginformasikan,  belum ada mekanisme pembayaran REDD, kalau cara mengukur cara keberhasilan proyek itu belum ada. Secara Umum tidak pernah melakukan donor dulu ke masyarakt, kegiatan-kegiatan yang langsung melibatkan masyarakat. Memberikan kapasitas mereka pendanaan.  Mekanisme pendaannya nanti adalah rencannya langsung ke masyarakat. 26% itu, saya tau seperti Papua, Aceh, tapi mereka sudah melaksanakan program REDD itu, informasi, banyak sekali propinsi-propinsi lain ada sekitar 6 -7 dipilih menjadi pilot propinsi. Kalau Kalteng berhasil. Nanti di coba lagi di propinsi lain.
            Peserta juga menanggapi apakah proyek REDD ini adalah suatu “perselingkuhan” pemerintah dengan negara asing? Lalu proyek REDD+ ini untuyk siapa? Pertanyaan ini dijawab oleh bu Dewi bahwa penerimaan proyek REDD oleh pemerintah Indonesia ini bukan ranahnya saya, dalam pengertian saya suatu program itu dilaksanakan kalau niatnya baik, pasti berjalan dengan baik.   FPIC harus dijalankan,  sifatnya adalah volunteer. Ini penting. Perlu juga sosialisasi, kita masih masuk tahap persiapan, belum melakukan projek REDD. Sosialisasi REDD itu penting.  Ini prosesnya jangka panjang. Bagaimana kita meningkatkan keterlibatan mereka dalam menjaga lingkungan.  Sebelum dilaksanakan atau dilakukan, disinilah FPIC dijalankan.
            Kesimpulan dari diskusi ini, adalah Pentingnya mensosialisasikan proyek REDD+ karena proyek REDD+ sudah disetujui oleh Presiden RI dan Gubernur Kalteng. Dan mempersipakan masyarakat adat dalam menghadapi REDD+ agar mereka tetap berada di wilayah adat mereka.

Kamis, 11 Agustus 2011

MENYAMBUT HARI MASYARAKAT ADAT SEDUNIA KE-17


Diskusi Terbuka dan Pemutaran Film”Sebuah Kesaksian Korban”
Yang Bertemakan “Pengaruh Para Investor Terhadap Keberadaan Masyrakat Adat di Kalimantan Tengah”

Bulan agustus tepatnya tanggal 9 merupakan hari yang sangat bersejarah bagi masyarakat adat diseluruh belahan dunia. Dimana 18 tahun yang silam, tahun 1993  bulan Agustus tanggal 9  melalui Konsensi Perserikatan Bangsa-Bangsa ditetapkan Sebagai Hari Masyarakat Adat Se-Dunia, perhatian dunia terhadap Masyarakat Adat nampak dari pidato Sekjen PBB yang disampaikan khusus pada peringatan Hari International Masyarakat Adat Se-Dunia yang menyatakan:

“Peringatan Hari Masyarakat Adat Se-Dunia adalah moment untuk mengingatkan kita bahwa masyarakat adat masih terus mengalami diskriminasi, marginalisasi, kemiskinan dan konflik yang parah; mereka tercerabut dari tanah dan kehidupan tradisionalnya , pemindahan paksa, penghancuran system kepercayaan mereka, budaya, bahasa dan cara hidup, dan bahkan ancaman terhadap kepunahan.”

Mengankat dari pidato Sekjen PBB pada Hari Internasional Masyarakat Adat se-Dunia, dimana keberadaan masyarakat adat selalu pada garis kelemahan terhadap hak-haknya, dan perjuangan hak-hak masyarakat adat selalu dan selalu terus, baik ditingkat Nasional bahkan sampai ditingkat Internasiaonal. Sebagai bukti kongkrit perjuangan masyarakat adat dimana pada Internasional melalui lembaga Perserikatan Bangsa Bangsa melahirkan UNITED NATIONS DECLARATION ON THE RIGHTS OF INDIGENOUS PEOPLES (UNDRIP) atau Deklarasi PBB tentang HAK-HAK MASYARAKAT ADAT  yang Diadopsi oleh Majelis Umum 13 September 2007.

Mempringati hari masyarakat adat se-Dunia ke-17 tahun yang tepatnya pada tanggal 9 agustus 2011, Badan pengurus Harian Aliansi Masyarakat adat Nusantara (AMAN) Wilayah Kalimantan Tengah mengadakan diskusi tebuka dan pemutaran Film “Sebuah Kesaksian Korban” dalam kegiatan ini  mengundang para NGO-NGO yang aktif di kalteng, dan juga mengundang Badang Eksekutif Mahasiswa serta MAPALA yang ada di beberapa perguruan tinggi di Kalteng.

Tema yang diangkat oleh AMAN Kalteng untuk memperingati hari yang bersejarah bagi masyarakat adat di seluruh penjuru dunia ini cukup menarik diperbincangkan bersama-sama yaitu “Pengaruh para investor dan REDD Terhadap Keberadaan Masyarakat Adat di Kalimantan tengah” kerena mengingat, dimana banyaknya investor-investor Perusahaan Besar Swasta (PBS) Sawit, Kegiatan pertambangan serta HPH yang ada dan beroperasi dikalteng dan ditambah lagi dengan di tunjuknya kalteng sebagai Pilot Projek REDD sehingga apakah ini akan berpengaruh terhadap kebradaan masyarakat adat dikalimantan tengah yang sudah turun-temurun hidup dan tumbuh diwilayannya

Dalam sambutan ketua BPHW AMAN KALTENG yang disampaikan oleh bapak simpun sampurna  yaitu; Dalam rangka menyambut dan merayakan hari masyarakat adat sedunia. AMAN Kalteng sudah  berupaya dalam segala hal terkai tentang masyrakat adat yang ada diwilayah kalimantan tengah,  namun semuanya masih mendapat kendala dan tantangan dan kami merasa perlu mendengarkan aspirasi dari rekan-rekan untuk membawa kami kearah yang lebih baik dalam perjuangkan masyarakat adat.

Wilayah Kalimantan tengah sudah penuh dikotak-kotakan oleh orang lain dan ini merupakan, atau menjadi pemikiran kita bersama-besama. Apakah kita kurang dalam informasi? dari pembanguanan terutama perkebunan, pertambangan, dan HPH. Dalam momen hari masyarakat adat ini, dengan kita melakukan diskusi bersama-sama mudah-mudahan kita mendapatkan solusinya.

Di kalteng ini masih  banyak terdapat  masalah atau konflik Argraria. Dari hasil lisensi tidak adanya ruang untuk masyarakat adat sebagai contoh Di dadahup, Puruk Cahu, lamandau, seruyan masyarakat adat sudah ada yang dikriminalisasi. Dalam tutuntutan mereka adalah tidak lain maslah agraria (penguasaan tanah)  yang menyangkut hajat hidup dan Implementasi dari UU 45 beserta produk hukum turunannya belum adanya pengakuan yang kuat tentang hak-hak masyrakat adat serta banyak terdapat pengkecualian-pengkecualian. Sesungguhnya pemerintah ini boleh dikatakan lupa kepada masyarakat adat karena hak-hak dasar masyarakat adat  tidak didapatkan dan seharusnya Negara maju dan Negara mandiri adalah Negara yang mampu melindungi dan memberikan pelayanan kepada masyarakat adat. AMAN secara garis besarnya mengantar rancangan UU tentang perlindungan dan pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat  seperti wilayah hutan adat dan sebagainya yang merupakan cerminan atau identitas bagi masyarakat adat.

Dari kegiatan diskusi. Masyarakat adat yang khususnya dikalteng, menghadapi kegiatan-kegiatan para investor terkaid dengan “keberadaan”. Menurut Bapak Sabian Usman  dari PD AMAN kobar, Mungkin yang lebih penting yaitu mempertajam ingatan dan meremajakan perasaan, dimana  misi kita dari awal sampai akhir hayatpun yaitu mempertahankan hukum adat. Saya mengadvokasi tanah adat 3000 Ha. Dan saya memberdayakan masyarakat adat disana (kotawaringin Barat). Percuma amademen kalau tidak berbasis masyarakat adat. kenapa PERDA di keluarkan Teras, ini adalah salah satu upaya menyelamatkan masyarakat adat, akan banyak manfaat apabila kita bisa mengubah konstitusi-konstitusi  untuk kepentingan masyarakat adat.

Bapak Agus dari PD AMAN kota Palangka Raya berpendapat apa yang dipaparkan dari film tadi adalah banyaknya janji-janji. Masyakat adat terpinggirkan, adanya perusahan besar yang bisa membeli hukum. Dan itu sudah terjadi di pangkalanbun, seruyan, masyarakat adat yang mempertahankan hak-haknya ditangkap dan dikriminalisasi. Mungkin kawan-kawan dari WALHI juga tau, didaerah pulang pisau ada pembukaan Perkebuan sawit yang lokasinya didesa kaliu. Mungkin dari AMAN kalteng bisa membantu Advokasi di sana kerna adanya permainan lobi-lobi dan yang parah lagi hak-hak masyarakat adat terpinggirkan. sebagai sher informasi bapak Habibi dari Telapak Kalteng menambahkan masyarakat Kalimanta Timur (kaltim), disana diadu domba antara Masyarakat satu dengan yang lain. Dan permasalahan utamanya adalah kepemilikan tanah, yang akibat dari ladang berpindahpindah sehingga terjadinya tumpang tindih klem pada satu lahan yang sama. Dari tumpangtindihnya klem lahan ini, ada pihak yg mempertahankan dan ada juga sebagaian yang menjual, dan sampai akhirnya terjadi korban saat perseteruan  klem atas tanah tersebut antar sesama masyaraka.

Fandi walhi berpendapat bawah ditatanan globalisasi  sudah merusak semua ini, masyarakat adat maupun Masyarakat bukan adat sudah termarjinalisasi. Dan menurut dedy (tabengan) AMAN harus mencari cara atau solusi, misalkan ada tanah masyarakat adat  yang akan dibeli investor dan AMAN posisinya berada di tengah. Contohnya saja investor datang  akan membuat adat kita terkikis, ayo kita pertahankan.

Agar keberadaan masyarakat tetap terjaga dengan masuknya investor yaitu sebelum investor masuk Harus adanya FPIC terlebih dahulu dan Bapak Sarbian dari PD AMAN kalteng Usman panggilan akrab juga mencermati dimana eksistensi masyarakat adat, beliau berasumsi persoalan mendasar kenapa lahan mereka dijual atau dilepas kepada investor karena kelaparan, ketidak adilan, kemiskinana (bob herder), mau memasukan anaknya ke SMP, SMA, sehingga masyarakat adat mencari jalan yang mudah untuk mendapatkan uang untuk keperluannya.

Dalam hal keberadaan masyarakat adat dikalteng yang dapat disimpulkan oleh moderator yaitu secara umum Indonesia sudah di kapling-kapling perusahan internasional. Masih banyak kelemahan di masyarakat adat itu sendiri. Mereka (investor) menyerang di bidang Ekonomi. Dan solusi untuk menimalisir serangan itu adalah membangun kekuatan  ekonomi masyarakat adat.

Diskusi yang berlansung di sekretariat AMAN Kalteng jalan sisingngamangaraja No.03 pukul 15.45 WIB sampai 18.37 WIB, memberikan masukan-masukan yang bermanfaat bagi pergerakan AMAN Kalteng dalam memperjuangkan keberadaan dan pengakuan masyarakat adat baik pemerintah, investor dan yang lainnnya yang dapat mengancam keberadaan mereka. Melalaui  kegiatan ini juga diharapkan mampu meningkatkan persatuan dan kesatuan dalam memperjuangkan kedaulatan masyarakat adat baik social, budaya dan ekonomi, serta kehidupan yang layak sebagai anak bangsa tanpa adanya marjinalisasi, diskriminasi serta pencabutan dari tanah dan kehidupan tradisionalnya. Perjuangan masyarakat adat bukanlah omong kosong belaka atau hanya mimpi belaka, mudah-mudahan perjuangan kita bersama ini memberikan yang bermanfaat bagi keberadaan masyarakat adat dan khususnya masyarakat adat dikalteng  AMIN.

Rabu, 10 Agustus 2011

Warga Tetap Menolak PT KSL dan SSG


Harian Umum Tabengan,  
TAMIANG LAYANG
Warga di Karusen Janang, Kabupaten Barito Timur (Bartim) tetap menolak karena aktivitas perusahaan kelapa sawit dan tambang batu bara membahayakan kelangsungan hidup dan merusak lingkungan.  

Padahal persoalan antara warga dan  perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Ketapang Subur Lestari (KSL) dan perusahaan pertambangan batu bara PT Sumber Surya Gemilang (SSG) sudah pernah dibahas oleh Bupati dan DPRD Bartim, bahkan ke tingkat provinsi.

Desa-desa yang masih terlibat aktif memprotes keberadaan PT KSL dan SSG  adalah Desa Dayu, Simpang Naneng, Lagan, Kandris, dan Desa Putut Tauluh.  

Tatun, warga Dayu,  bersama tiga rekannya mendatangi  Tabengan. Mereka mengungkapkan,  lima desa tetap menolak perusahaan PT KSL dan SSG.

 “Kami tetap akan menolak aktivitas perusahaan baik, di bidang pertambangan maupun perkebunan seperti yang dialami beberapa warga dari lima desa tersebut khususnya PT KSL,” tegas Tatun.

Pria yang bekerja di bidang kesehatan Puskesmas Dayu ini mengatakan, warga tetap akan membawa permasalahan ini sampai ke Bupati atau ke tingkat yang lebih atas. 
Ia mengaku, persoalan itu, sudah pernah dibawa kepada desa.

Tapi, karena tidak ada titik temunya, hingga prosesnya terus berlanjut ke Polres bahkan sampai ke DPRD Bartim.

Karena tidak ada respon atau titik temu, warga  meminta Bupati Bartim agar bisa menyelesaikan permasalahan tersebut. Pada tanggal 20 Juni lalu, sejumlah perwakilan warga dari lima desa itu telah menghadiri pertemuan dengan Bupati,  Kejaksaan, dan beberapa instansi terkait dan perusahaan .

Saat itu, hasil pertemuan memutuskan agar perusahaan melakukan pengkajian ulang terhadap rencana tersebut.

 “Kalau saya melihat tayangan televisi, ada larangan mengganggu hutan primer, karena itu kami selaku masyarakat serta orang pribumi Bartim tetap menolak kegiatan PT KSL. Selama ini kami juga belum pernah melihat adanya izin prinsif PT KSL,” terangnya, seraya menambahkan bahwa perwakilan masyarakat telah menyampaikan sikap dan kondisi permasalahan  ke DPRD Provinsi Kalteng, beberapa waktu lalu.

Terpisah,  Manajemen PT KSL melalui Manager Umum PT Borneo Ketapang Indah (BKI) Supomo mengakui, perusahaan pernah melakukan sosialisasi ke desa bahkan sampai ke Polres dan DPRD Bartim.

Supomo yang juga merangkap Humas PT BKI itu menjelaskan,   beberapa waktu lalu, Bupati Bartim telah membentuk tim yang beranggotakan  Asesten III H Suwardi, BLH dan Dishutbun Bartim, serta tokoh masyarakat.

Tim tersebut sudah turun ke lapangan bersamaan dengan kelompok Bapak Yansyah. Namun, belum diketahui hasil peninjauan tim. “Kita tetap menunggu rekomendasi dari tim dan  surat keputusan Bupati, terkait masalah pencemaran lingkungan yang dilaporkan warga,” katanya

Ia menambahkan, dalam perluasan lahan itu, perusahaan melibatkan masyarakat di sekitar lokasi. Dan apabila ada ditemukan daerah rawa tidak akan digarap.  

Supomo menegaskan, perusahaan benar-benar ingin berinvestasi dan bukan untuk merugikan masyarakat, apalagi melakukan pencemaran.

Semenetara PT KSL mempunyai izin di tiga Kecamatan yaitu Dusun Tengah, Paku, dan Kecamatan Karusen Janang. Untuk izin lokasinya sekitar 17 ribu hektar.

Namun yang paling banyak diganti rugi ada di wilayah Kecamatan Karusen Janang, yaitu Desa Simpang Naneng sebanyak 160 hektar.  “Kita fokus mencari lahan yang dibebaskan dulu, paling tidak sebatas pembibitan,” jelasnya. c-bib

Sumber : Harian Umum Tabengan, 10 Agustus 2011

Senin, 08 Agustus 2011

Permentan Dipersoalkan

Harian Umum Tabengan,



Seminggu yang lewat, ribuan warga Seruyan melakukan demo besar-besaran di Kuala Pembuang ibukota Kabupaten Seruyan. Pendemo yang berasal dari sejumlah kecamatan mengadukan beberapa permasalahan antara warga dan perusahan besar swasta (PBS), salah satu tuntutannya meminta rekomendasi 20 persen kebun untuk warga. Namun tuntutan mereka ditolak Bupati Seruyan Darwan Ali, hanya karena dinilai tidak berani mengeluarkan rekomendasi, alasannya Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No.26/2007 Tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan berlaku surut, artinya peraturan tersebut belum jelas untuk diterapkan.

Padahal dalam pasal 11 Permentan No.26 Tahun 2007 dijelaskan, kewajiban perusahaan yang memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP) dan Izin Usaha Perkebunan untuk Budidaya (IUP-B) untuk membangun kebun untuk masyarakat sekitar, paling rendah 20 persen dari total luas areal kebun yang diusahakan oleh perusahaan.

Permentan tersebut dijelaskan lebih lanjut melalui Dirjen Perkebunan melalui surat No.396/OT.140/EI.1/07/2007, 25 Juli 2007, pembangunan kebun untuk masyarakat yang di antaranya menyatakan, pola pembangunan kebun adalah pola yang disetujui bersama antara masyarakat dan perusahaan.

Sementara dalam Peraturan Gubernur No.17 Tahun 2011 tentang Pedoman Perizinan Pengelolaan Usaha Perkebunan, telah mengatur persyaratan memperoleh IUP yang salah satunya adalah kesediaan perusahaan perkebunan untuk membangun kebun bagi masyarakat sesuai Pasal 11 Permentan No.26/2007 yang dilengkapi dengan rencana kerjanya.

Jadi, apa yang terungkap saat demo berlangsung bahwa Permentan berlaku surut atau belum jelas untuk diterapkan, dinilai banyak pihak alasan yang dicari-cari. Rakyat menuntut, karena di Bupati tanggung jawab izin perkebunan selama ini.

Contoh kasus di Seruyan ini adalah salah satu contoh konflik antara PBS dengan rakyat sekitar perusahaan atau sebaliknya di Tanah Air. Berdasarkan data dari Planologi Kehutanan dalam "Identifikasi desa di dalam dan sekitar kawasan hutan tahun 2009" disebutkan, dari 38.565 desa yang diidentifikasi terdapat 9.103 desa berada di dalam dan sekitar kawasan hutan.

Ada sekitar 17,6 juta hektar kawasan hutan berkonflik yaitu tumpang tindih klaim, desa/kampung (19.420 desa di 32 provinsi), serta izin sektor lain. Penerbitan izin-izin oleh Pemerintah Daerah, serta kebutuhan sektor lainnya (seperti Pertambangan) di dalam kawasan hutan juga mewarnai pengelolaan hutan di Indonesia.

Konflik dalam pengelolaan hutan terus mencuat bahkan seringkali diwarnai dengan tindakan anarki baik oleh pihak masyarakat, perusahaan, maupun pihak pemerintah. Dalam beberapa kasus bahkan sempat merenggut korban jiwa.

Sebenarnya, telah banyak upaya yang dilakukan untuk menyelesaikan dan meminimalisir terjadinya konflik dalam pengelolaan hutan, tapi nampaknya konflik tetap saja terjadi, sementara lebih ironis lagi kondisi hutan semakin hari semkain memprihatinkan.

Tentu tidak salah kiranya untuk belajar dari HPH yang tetap berjalan dengan baik hingga kini, agar perusahaan bisa menjaga hubungan baik dengan rakyat dimana perusahaan tersebut beroperasi.

Tapi kunci utamanya, tetap ada di tangan pemimpin daerah untuk menjembatani semua kepentingan di daerahnya masing-masing secara adil, bijaksana, demokrasi, dan tegas.


Sumber : Harian Umum Tabengan. 07 Agustus 2011 

"Bagaimana Nasib Kami jika REDD+ Berjalan?"


KOMPAS.com — Beberapa proyek percontohan REDD+ (Reduction of Emissions from Deforestation and Degradation), upaya pengurangan emisi gas rumah kaca dengan mencegah deforestasi dan degradasi hutan, telah berjalan. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat lokal yang dilibatkan belum memahami tujuan dari proyek ini.

Apa yang terjadi di Desa Petak Puti di tepian Sungai Kapuas, Kalimantan Tengah, adalah salah satu contohnya. Di desa yang menjadi proyek Kalimantan Forest Climate Partnership (KFCP) hasil kerja sama Indonesia Australia dilakukan itu, masyarakat justru khawatir tentang proyek percontohan yang dijalankan.

"Tahun 2013, proyek KFCP ini kan berakhir. Kami khawatir nanti mereka akan menjadi hak kami. Hak itu misalnya kebun. Sampai sekarang kami tidak tahu apakah nanti akan terjadi seperti itu atau tidak," ungkap Yuyo P Dulin, Kepala Desa Petak Puti, pada Senin (18/7/2011).

Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Pasalnya, masyarakat Petak Puti mengalami trauma akan pengalaman masa lalu. Yuyo menjelaskan, sekitar tahun 2004, ada pihak yang datang serta melaksanakan proyeknya tanpa izin dan merugikan masyarakat setempat. Hal lain yang menjadi kekhawatiran adalah pelaksanaan REDD+ nantinya.

"Bagaimana nasib kami kalau REDD+ berjalan karena nanti hutan tidak dapat dijangkau manusia. Bagaimana kalau kita punya kebutuhan. Mau bikin kandang ayam atau rumah misalnya," jelas Yuyo.
Menurut Yuyo, banyak hal tentang REDD+ yang belum dimengerti masyarakat. Dirinya sendiri mengaku bahwa hanya memahami REDD+ sebatas pada upaya mengurangi gas rumah kaca, belum pada semua konsekuensi jika REDD+ dijalankan nantinya.

Yuyo mengungkapkan, masyarakat perlu diberi pengetahuan soal REDD+ dan konsekuensinya. Yuyo juga meminta jaminan bahwa REDD+ ataupun proyek percontohannya tidak mengambil hak masyarakat.
Selain itu, menurut Yuyo, di luar soal REDD+, ada hal lebih penting yang perlu diupayakan jika nanti masyarakat benar-benar tidak bisa mengakses hutan. Ia menaruh harapan besar pada soal mata pencaharian alternatif sehingga masyarakat tetap bisa berusaha meningkatkan taraf hidupnya.

"Sekarang masyarakat bergantung pada karet dan ikan. Bagaimana KFCP juga ikut memikirkan hal ini. Jadi bagaimana masa depannya nanti Petak Puti ini," kata Yuyo. Mata pencaharian alternatif penting sebab beberapa warga masih melakukan praktik yang merusak lingkungan, seperti menambang emas.



Sumber : Kompas, senin 8 Agustus 2011

Sabtu, 06 Agustus 2011

KOMNAS MINTA BUPATI MORATORIUM PERIZINAN


KONFLIK LAHAN DI KALTENG
KOMNAS MINTA BUPATI MORATORIUM PERIZINAN 

Palangka Raya,PPost.
Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) meminta kepada seluruh Bupati yang ada di KaAlteng untuk melakukan moratorium terhadap pengeluaran perizinan di wilayah mereka. Pasalnya , sengketa lahan yang terjdi di Kalteng merupakan hal yang paling utama dan mendesak untu diselesaikan oleh Pemerintah Daerah setempat.
‘’Klaim lahan seperti ini  jika dibiarkan akan mengganggu situasi keamanan yang sudah ada di Kalteng”, kata Penyidik Senior Komnas HM,Husendro kepada PPost di Palangka Raya pekan kemarin.

Menurut Husendro, sebaiknya Bupati yang ada di Kalteng melakukan moratorium terhadap pengeluaran perizian, problem utama yang banyak ditemui terhadap sengketa  lahan antara masyarakat dan perusahaan adalah ketidakjelasan kepemilikan lahan, baik antara masyarakat adat maupun perseorangan dengan perusahaan pemilik Hak Guna Usaha (HGU) yang sah.

Untuk itu, jelasnya , Bupati dalam pengeluaran izin perkebunan atau pertambangan hendaknya melihat apakah di areal arahan lokasi yang akan diberikan  tersebut ada kehidupan atau perkampungan atau tidak. Sehingga bijaksananya Bupati dalam pengeluaran izin arahan lokasi juga hrus melihat fakta yang ada di lapangan.

Ditegaskan , moratorium terhdap pengeluaran izin pertmbang dan perkebunan menjadi penting, pasalnya, masalah sengketa lahan yang terjadi di Kalteng sangat banyak dan perlu  penyelesaian yng mendesak, sebelum kepercayaan msyarakat kepada pemerintah berkurang dan menimbulkan konflik horizontal yag lebih besar.

‘’Jika kejadian ini dibiarkan, tren konflik akan semakin menaik dan masyarakat bisa jadi pasang badan dalam menghadapi sengket lahan mereka’’, ujarnya.

Berdasarkan catatan Komnas HAM sendiri, sedikitnya terdapat beberapa perusahaan saat ini sedang dalam sengketa lahan dengan masyarakat sekitar. Ada yang sengketa lahan dengan masyarkat adat, bahkan ada juga yang bersengketa dengan masyarakat transmigrasi yang justru sudah mempunyai kepemilikan sah berdasarkan sertifikat yang diberikan pemerintah.

Menurut Husendro, keteletodoran Bupati dalam pemberian izin arahan lahan banyak bermunculan. Hal tersebut , dikarenakan dalam pemberian izin arahan lokasi kepada perusahaan perkebunan dan pertmbngn, Bupati tidak pernah melihat lokasi tersebut apakah sudah ada ditempti masyarakat atau belum.

Perusahaan, jelasnya, pastinya akan bekerja sesuai dengan HGU yang dikeluarkan pemerintah dan tidk pernah mau tahu apakah di dalam areal mereka ada masyarakat yang tinggal  atau tidak.Jika ditemui ada masyarakat yang tinggal, mereka tidak segan untuk mengeluarkan uang untuk mengusir msyarakat dengan sistem ganti rugi lahan.

“Tindakan yang paling  bijak saat ini adalah penyelesaian permasalahan sengketa lahan tersebut dan moratorium terhadap pengeluara perizinan,” pungkas Husendro.(mhs).

Sumber :Harian Palangka Post, Palangka Raya, 2 Agustus 2011.