=="BERDAULAT SECARA POLITIK, MANDIRI SECARA EKONOMI, BERMARTABAT SECARA BUDAYA==

Selasa, 04 Oktober 2011

Keadilan Iklim Masyarakat Adat di Sekitar Hutan dan Perubahan Iklim

Aliansi Masayarakat Adat Nusantara Kalimantan Tengah, pada tanggal 27 September 2011 mengadakan Diskusi Panel yang berjudul “Keadilan Iklim Masyarakat Adat di Sekitar Hutan dan Perubahan Iklim.” Tujuan diadakannya diskusi ini adalah Terbangunnya persepsi masyarakat tentang keadilan iklim, Adanya penguatan komunitas masyarakat untuk berpartisipasi dalam membuat kebijakan iklim. Membangun komunitas sipil untuk memonitoring dana dan aktifitas perubahan iklim.
            Diskusi ini menghadirkan tiga orang narasumber yakni bapak Arie Vam Rompas dari Walhi Kalteng dengan membawakan Subtema “Inisiatif Lokal dalam Solusi Perubahan Iklim untuk Keberlanjutan Penghidupan Menuju Keadilan Iklim”. Bapak Paulus Alfons Y.D dengan Subtema “Hak-hak Masayarakat Adat dan Perubahan Iklim” yangh mewakili AMAN Kalteng dan ibu Dewi T. Elyana dari kantor pendukung REDD+ dengan Subtema “Pelaksanaan REDD+ di Kalimantan Tengah”
Dalam presentasinya Arie Rompas mengatakan “Indonesia sebagai negara ke tiga di dunia yang menyumbang hanay 17% dari emisi karbondioksida global.” Pada initnya perubahan ilim biacara tentang pangan, air, dll.  Banyak peneliti menyatakan bahwa perubahan iklim itu nyata.? Ini normal cuacanya. Di kampung, siklius tanaman sudah berubah. Oke ini perubahna iklim, penggunanan bahan fosil sama sekali tidak dibicarakan. Bicara tentang akarnya, Indonesia SDA sudah diambil sejak zaman kolonilisme. Saat inikan yang dipakaikan adalah mekanisme offset. Artinya Indonesia dibebankan dengan  utang-utang. SDA Indonesia  diperguankan unutk Ekspor. Jumlahnya 80 %.  Bicara deforestrasi , ini berasal dari pertambanagn perkebunan, dan HPH. Yang mendapatkan keuntungan dalam proyek REDD ini adalah mereka. Contohnya RMU, RRC. Masyarakat yg sudah dari dulu menjaga hutan, malah tidak dilibatkan.  Beberapa solus2 yg diambil sepakat atau tidak sepakat  masalah adatasi dan mitigasi. Tidak mengena akarnya. Jika bicara tentang REDD, kalau secara HTI,  adalah salah satu unutk mengurangi dari Deforestrasi dan Degradasi.  COP-15  2009 dulu di aceh, hari ini bang dunia terlibat dalam pendanaan. Skema perdagangan ini tidak decibel. Di KFCP sudah diuji coba, fakta hari ini terjadi konflik disana, hari in penguasaan di Kalteng dikuasi oleh tambang, perkebuanan, HTI. Keterbukaan infomasi itu tidak ada. Probelmnya REDD ini bicara soal karbon. Pohon itu tidak boleh ditebang, tanah2 , proyek2 ini, tanah2 adat, ini menjadi problem. Perkembangnya REDD ini panjang sekali. Perkembangannya adalah carbonsing, org banyak2 menanam. Adalagi permenhut, sawit dikatagorikan sebagai hutan. Permenhut itu baru satu bulan. Karan bnyak sekali teman2 berteriak disana. Kebijakan pemerintah hutan adat adalah hutan Negara yg berada diwilayah masyarakat hukum adat.
Sedangkan menurut Paulus Alfons Y.D “Penyebab Indonesia sebagai penyumbang CO2 adalah karena kerusakan hutan yang disebabkan pembukaan lahan perkebunan sawit dan pertambangan, Perubahan iklim hadir dalam bentuk pengurangan tanah untuk rakyat (Wilayah Masyarakat yang di kategorikan Hutan menjadi target REDD, Areal Pertambangan dan Perkebunan Swasta tidak di konversi.
Berbarengan dengan itu, skema perdagangan bebas semakin mengikat Indonesia dan sejalan dengan program perubahan Iklim dalam hal Penguasaan Tanah. Struktur Peraturan Perundang-Undangan yang semakin berkarakter ‘Neoliberal”
Pembohongan Publik dalam rangka mendapatkan Utang dan angka Kemiskinan di Indonesia yang di manipulasi..” Dalam pembukaan diskusi Panel Bapak Simpun Sampurna mengungkapkan “Bahwa Masyarakat adat tidak pernah merusak hutan, justru masyarakat adat yang secara turun temurun melestarikan hutan mereka dengan budaya kearifan lokal mereka, dan isu perubahan iklim yang tidak melibatkan masyarakat adat akan menimbulkan konflik yakni ada Dua alasan; Masayarakat adat akan menjadi solusi atau amsyarakat adat akan  menjadi korban apabila mereka tidak diakui.”
Sedangkan menurut narasumber Ibu Dewi T.Elyana “Terpilihnya Kalimantan Tengah, sebagai propinsi percontohan melalui proses seleksi yang ketat. Ada Lima tahap yang akan dijalankan :
1.    Membangun dan memperkuat institusi dan proses.
2.    Mengkaji dan memperkuat kerangka legislatif
3.    Meluncurkan program strategis
4.    Transformasi budaya dan
5.    Pelibatan semua stakeholders.
Bu Dewi Elyana juga menjelaskan singkat tentang hasil Pertemuan Governors Climate Forest bahwa Mungkin secara keseluruhan Negara yg terlibat, mengdeklarasiakan dan sepakat bahwa MA dilibatakan. Dan mengutamakan FPIC.  Program REDD+ ini akan terus disosialisasikan kepada masyarakat luas.

Diskusi Panel ini ini dimulai dari ketiga para narasumber yang saling bertanya, dimulai dari Paulus Alfons Y.D yang menanyakan kepada ibu Dewi, negara Annex1 (negara-negara industri berkembang) yang tidak mau mengurangi emisi, dan membebankan kepada negara-negara dunia ke Tiga (termasuk Indonesia) untuk menjaga hutan. Lalu bagaimana melibatkan masyarakat adat sementara di tingkat komunitas belum ada? Lalu bagaimana Stranas sudah disiapkan sementara Strada belum ada?
Ibu Dewi menanggapi Sejauh ini, kegiatan REDD ini yg diuntungkan adalah perusahaan itu sendiri. Masyakat harus mendapatkan benefit. Kita juga harus memikirkan bagaimana benefit sharingnya? Apa mekanisme yg baiknya.?
Pengelolaan secara Masyarakat, ke depan mengutamakan tentang hutan Adat.  ada hutan adat kemasyarakatan tapi dilapangan ini hutan individual. Mereka sudah ada perorangn tidak lagi komunitas. Itu yg mau saya tanyakan kepada AMAN. 
Soal SSL, sekarang ini kita masuk dalam konsultasi public. Kita sekarang dalam tahap mennunggu masukan.  Garis besarnya sudah ada. Nantinya dikonsultasikan. Setelah di palangka raya, akan dilibatkan ditingkat lapangan. Iini masih draf. Ini sesuai dengan konteks Kalteng.
Kemudian Starada dan starnas, saya meliat figur aksesnya. Terkadang harus adanya Top down, ada bottom up. Kenapa kita melakukan seperti ini, kita harus melakukan suatu acuan. Ini akan disesuaikan dengan karekteristik tempat itu. Stranas, harus Top down, tapi di strada adalah bottom up. Distruktur REDD+ ini, itu melibatkan LSM-LSM atau perwakilan Masyarakat. Lebih kekonteks lokal. Pak Pungki skretariat REDD+ baru, ada mekanisme , ada semacam lembaga. Teman-teman LSM termasuk disininya. Implementasinya harus mendaptkan review dulu dari ini. Yang diluncurkan Bpk Gubernur ini adalah komitmen, dan membutuhkan orang-orang yang berkompeten, dan berkomitmen. Ini yang kita harapkan. Menurut pak sekda, ini menyesuaikan susunan Satgas, sesuai Keppres.
            Diskusi kemudian dilanjutakan kepada para peserta yang bertanya, antara lain menanyakan posisi AMAN apakah menerima atau menolak REDD? Lalu bagaimana penerapan FPIC? Apakah perlu dirubah atau ditambahkan. Narasumebr dari AMAN Kalteng menjelaskan posisi AMAN saat ini menunggu mandat dari komunitas apaakh menerima REDD atau menolak, akan menolak REDD jika hak-hak masyarakat adat diabaikan. Dan saat ini AMAN Kalteng terus mengupayakan untuk menginformasikan REDD+ di Kalteng, prinsip-prinsip dalam FPIC dan Deklrasi PBB tentang Hak-hak masyarakat Adat. Mengenai FPIC akan dirubah atau tidak, hal yang terpenting adalah menginformasikan setiap proyek yang masuk ke wilayah adat dan memberikan ruang bagi masyarakat adat untuk menerima atau menolak sebuah proyek.
            Ibu Dewi juga menginformasikan,  belum ada mekanisme pembayaran REDD, kalau cara mengukur cara keberhasilan proyek itu belum ada. Secara Umum tidak pernah melakukan donor dulu ke masyarakt, kegiatan-kegiatan yang langsung melibatkan masyarakat. Memberikan kapasitas mereka pendanaan.  Mekanisme pendaannya nanti adalah rencannya langsung ke masyarakat. 26% itu, saya tau seperti Papua, Aceh, tapi mereka sudah melaksanakan program REDD itu, informasi, banyak sekali propinsi-propinsi lain ada sekitar 6 -7 dipilih menjadi pilot propinsi. Kalau Kalteng berhasil. Nanti di coba lagi di propinsi lain.
            Peserta juga menanggapi apakah proyek REDD ini adalah suatu “perselingkuhan” pemerintah dengan negara asing? Lalu proyek REDD+ ini untuyk siapa? Pertanyaan ini dijawab oleh bu Dewi bahwa penerimaan proyek REDD oleh pemerintah Indonesia ini bukan ranahnya saya, dalam pengertian saya suatu program itu dilaksanakan kalau niatnya baik, pasti berjalan dengan baik.   FPIC harus dijalankan,  sifatnya adalah volunteer. Ini penting. Perlu juga sosialisasi, kita masih masuk tahap persiapan, belum melakukan projek REDD. Sosialisasi REDD itu penting.  Ini prosesnya jangka panjang. Bagaimana kita meningkatkan keterlibatan mereka dalam menjaga lingkungan.  Sebelum dilaksanakan atau dilakukan, disinilah FPIC dijalankan.
            Kesimpulan dari diskusi ini, adalah Pentingnya mensosialisasikan proyek REDD+ karena proyek REDD+ sudah disetujui oleh Presiden RI dan Gubernur Kalteng. Dan mempersipakan masyarakat adat dalam menghadapi REDD+ agar mereka tetap berada di wilayah adat mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar