=="BERDAULAT SECARA POLITIK, MANDIRI SECARA EKONOMI, BERMARTABAT SECARA BUDAYA==

Kamis, 04 Agustus 2011

Nonton Film REDD di Ambang Pintu

Harian Umum Tabengan,  

Nadi kehidupan masyarakat adat tergantung pada hutan. Sementara, kehidupan mereka dibeli negara maju. Mereka tak menyadari haknya atas hutan dibatasi. Informasi inilah yang disampaikan dalam film REDD di Ambang Pintu.
 
Sejumlah aktivis lingkungan dan mahasiswa terpaku menatap layar lebar yang terpampang di Sekretariat Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalteng. Minggu (24/7) petang, sebuah tayangan film yang memuat isu agar masyarakat adat mengerti tentang karbon di hutan, diputar di sana.
 
Film dokumenter berdurasi 30 menit 24 detik ini mengisahkan tentang Reducing Emissions from Deforestation and Degradation (REDD). Kalteng terpilih sebagai provinsi percontohan untuk implementasi REDD.
 
Tontonan gratis bertujuan memperkuat pemahaman tentang perubahan iklim dan skema REDD+ serta dampaknya terhadap masyarakat adat di Kalteng. 
 
Dalam film itu terlihat jelas kondisi hutan dengan pohon menjulang, tak kalah tingginya gedung pencakar langit. Pohon-pohon ini sangat penting mengurangi emisi karbon dan dampak gas rumah kaca (mitigasi).
 
Manfaat hutan kemudian memunculkan REDD sebagai mekanisme yang menempatkan uang pada kondisi alami hutan untuk mengurangi deforestasi. Adanya nilai uang membuat banyak pihak yang berkepentingan dengan program REDD dan hutan.
 
Pada tayangan film tampak sejumlah aktivis lingkungan, baik lokal, nasional, maupun internasional menguraikan kemungkinan dampak implementasi REDD terhadap masyarakat adat di wilayahnya.
 
“Kita masyarakat adat menjaga alam kawasan hutan motivasinya adalah karena kita bagian dari alam. Menjaga semesta alam itu adalah hidup kita,” kata Masiun, tokoh masyarakat Kalimantan Barat yang terekam dalam gambar.
 
Kenyataan membuktikan, masyarakat adat yang memegang penuh hak atas hutan adat mampu menjaga hutan dari proses deforestasi, seperti yang dilakukan 400 suku masyarakat adat di Brazil menguasai penuh 100 juta hektar Hutan Amazon.
 
Indonesia sebagai negara yang mempunyai hutan tropis terbesar ketiga di dunia, terdapat 40 hingga 60 juga masyarakat adat yang tersebar di sekitar hutan. Hidup dan menggantungkan mata pencariannya pada hutan.
 
“Masyarakat kita ini kebanyakan tidak mengerti masalah REDD, tidak mengerti sama sekali. Kalau kita bilang REDD, apa REDD?” kata Marzuki, warga Gampung, Aceh, di film itu, yang mengungkapkan ketidakmengertian masyarakat tentang REDD.
 
Film ini menunjukkan kenyataan, meskipun pemerintah telah menyosialisasikan REDD, seperti yang diungkapkan Kepala Badan Penelitian dan Pembangunan Kehutan DR Tachrir Fathoni bahwa REDD merupakan upaya mengurangi emisi karbon dan gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan, ternyata masyarakat banyak yang tidak tahu.
 
Namun, degradasi dan deforestasi hutan hanya salah satu bagian yang menyebabkan perubahan iklim, penyebab utamanya adalah penggunaan bahan bakar fosil seperti batu bara dan gas bumi di negara-negara maju seperti Amerika, Inggris, dan Jepang. Mereka harus mengurangi emisi guna memperlambat laju perubahan iklim.
 
Membayar negara lain untuk mengurangi deforestasi merupakan cara mudah mengurangi emisi global. Cara inilah yang disebut REDD.
 
Akan tetapi, risiko terbesar program REDD akan ditanggung oleh masyarakat adat, karena skema pembagian keuntungan REDD belum jelas. Banyak pihak yang ingin terlibat untuk mendapatkan uang mitigasi tesebut.
 
Uang, akan dibagikan kepada pihak-pihak terlibat. Sebagian uang REDD akan diambil oleh perantara yang membantu kesepakatan karbon, atas kebijakan Kementerian Kehutanan sebagian uang juga akan masuk ke Pemerintah Pusat, bagian lain akan dibagi ke pemerintah daerah, dan masih belum jelas apakah masyarakat adat mendapatkan bagian uang tesebut.
 
Selain itu, jika REDD sudah berjalan, maka masyarakat adat tidak bisa melakukan aktivitasnya,  karena pada perjanjian REDD tidak boleh ada pemanfaatan hutan, termasuk oleh masyarakat adat.
 
Kenyataan inilah yang ingin diungkapkan oleh AMAN melalui film REDD di Ambang Pintu agar masyarakat adat mendapat haknya dengan meminta penghentian pendanaan sebelum adanya The principle of Free, Prior and Informed Consent (FPIC) atau persetujuan tanpa paksaan. cholid tri subagiyo

sumber : Harian Umum Tabengan,25 Juli 2011 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar