2011-01-03 |
Harian Umum Tabengan, PALANGKA RAYA, Proyek perubahan iklim yang belum jelas manfaatnya bagi masyarakat adat perlu ditinjau ulang. Jangan sampai proyek ini malah mengancam hak masyarakat akan akses terhadap kawasan.
Proyek Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) atau pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan di Kalteng perlu di-review untuk memastikan hak-hak masyarakat adat dipenuhi dan dilindungi.
“Yang juga perlu dipertimbangkan adalah masyarakat berhak mengajukan model lain di luar skema REDD yang dapat menjamin kehidupan masyarakat lokal yang di kelola secara mandiri dan berdaulat,” tegas Simpun Sampurna, Ketua Badan Pelaksana Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Kalteng kepada Tabengan di kantornya, Sabtu (1/1).
Dadut, sapaan akrab Simpun Sampurna mengatakan, negara maju dan pemerintah sebaiknya belajar pada inisiatif masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya gambut yang merupakan salah satu pilihan tepat dalam solusi krisis iklim global.
Masyarakat melakukan proses adaptasi dan mitigasi dengan penanaman pohon, merehabilitasi dan menjaga hutan adat, bertani padi sawah, merehabilitasi kebun rotan, karet, membuat kolam beje dan keramba, sekat bakar tradisional, membangun rumah terapung, rumah panggung, serta meramal situasi dan kondisi desa ke depan berdasarkan kearifan local.
Karena itu, Dadut meminta pemerintah mengkaji ulang REDD dan segera mengembangkan ekonomi kerakyatan, pemenuhan kebutuhan pangan, pendidikan, dan kesehatan sebagai insentif masyarakat dalam upaya penyelamatan gambut di Kalteng.
AMAN Kalteng memberikan rekomendasi kepada Pemprov Kalteng agar mempercepat proses penyelesaian Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) dan RTRWK status kawasan Kalteng, dengan mengakomodasi hak-hak masyarakat adat atas sumber kekayaan alam gambut yang telah diinventarisasi di atas peta yang dibuat berdasarkan tata ruang desa dan antar desa.
Pemerintah juga diminta segera mengakui kedaulatan masyarakat adat atas sumber-sumber kekayaan alam, seperti tanah adat, hutan adat, sungai-sungai, danau-danau, tatas, handil, kolam tradisional (beje), kebun rotan, kebun karet, kebun purun, satwa yang dilindungi, tempat keramat, pahewan, dan yang menyangkut tatanan sosial budaya maupun tradisi masyarakat di sebuah wilayah desa dan adat.
Di samping itu, perusahaan swasta di kawasan bekas proyek lahan gambut (PLG) dan sekitarnya didesak agar segera menghentikan aktivitasnya dan mengembalikan hak-hak masyarakat atas tanah adat, hutan adat, kebun karet, kebun rotan, tatas, handil, dan tempat-tempat keramat dengan tanpa syarat.
Dadut juga mengingatkan pihak swasta yang sedang merencanakan program perubahan iklim--REDD model restorasi hutan di Kabupaten Katingan seluas 250.000 hektar, agar menghentikan rencana tersebut, karena akan mengancam hak-hak masyarakat adat di wilayah proyek.
AMAN Kalteng, lanjut Dadut, juga meminta Dewan Adat Dayak Kabupaten untuk memerintahkan semua Damang di tiap kecamatan segera melaksanakan Peraturan Daerah (Perda) No.16/2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak dan Pergub No.13/2009 tentang Tanah Adat dan Hak-hak Adat di Atas Tanah.
Hal yang mesti diperhatikan dalam penguatan implementasi kedua kebijakan daerah ini, di antaranya penguatan kelembagaan adat, peningkatan kapasitas sumberdaya pengurus adat, dan pengembangan ekonomi untuk kesejahteraan.
Bukan Jawaban Sementara Nordin, Koordinator Save Our Borneo (SOB) Kalimantan mengemukakan, REDD+ bukan jawaban atas deforestasi yang terjadi dan telah berakibat pada ‘sakitnya’ hutan. “Pemerintah tidak perlu terjebak pada program-program yang tidak jelas, REDD+ bukanlah jawaban atas deforestasi,” kata Nordin ketika diminta tanggapannya mengenai dipilihnya Kalteng sebagai lokasi percontohan REDD+.
Dikatakan, moratorium mutlak dilakukan meski tanpa embel-embel kompensasi, karena justru membuat kawasan dan teritori site REDD+ tergadai. Terlebih lagi jika mekanisme program REDD+ tidak transparan, masyarakat tidak pernah mengetahui secara terbuka maksud dan tujuan program ini.
Di lain pihak, Nordin menilai pemerintah daerah juga belum siap menerapkan program ini, demikian pula kondisi masyarakat sekitar kawasan yang akan dijadikan program REDD+. str
sumber : Koran Tabengan tanggal 03 Januari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar