=="BERDAULAT SECARA POLITIK, MANDIRI SECARA EKONOMI, BERMARTABAT SECARA BUDAYA==

Minggu, 17 Juli 2011

Suara Rakyat


Harian Umum Tabengan,
Sepertinya rasa keadilan menjadi barang mahal bagi warga Desa Paduran, Kecamatan Sebangau Kuala, Kabupaten Pulang Pisau (Pulpis). Pasalnya, sudah dua pekan ini mereka beraktivitas di halaman Kantor Bupati Pulpis untuk memperjuangkan lahan yang kata mereka dicaplok prusahaan kelapa sawit.
 
Kegigihan mereka bertahan belum mendapatkan hasil yang memuaskan. mereka berdemo di halaman Kantor Bupati untuk meminta kejelasan lahan mereka yang digarap Perusahaan Besar Swasta (PBS) PT Suryamas Cipta Perkasa (SCP) di Sebangau Kuala.
 
Bahkan, selama dua pekan aksi yang dilakukan belum ada satu pun dari pihak pemerintah yang ingin bertemu apalagi bertatap muka dan berbicara langsung mengenai nasib pihaknya selama kurang lebih lima tahun berjalan, termasuk Bupati Pulpis.
 
Yang jelas, hingga kini belum ada realisasi ganti rugi tanah dan lahan dari pihak PT SCP. Bahkan, di lapangan pihak perusahaan semakin semena-mena menggarap lahan di tanah yang menjadi penopang hidup warga tersebut.
 
Tentu saja, terkatung-katungnya masalah itu, mendapat sorotan banyak kalangan. Apa sebabnya? Karena sekecil apa pun persoalan yang dialami masyarakat, mereka patut memperoleh pelayanan, apalagi menyangkut hajat hidup warga, pemerintah harus serius untuk melayani. Ingat, pemerintah tugasnya melayani bukan untuk dilayani.   

Indonesia dikenal negeri yang menjunjung tinggi azas musyawarah dan mufakat. Jadi, rasanya tidak ada masalah yang tidak ada jalan keluarnya jika di hati setiap orang masih memiliki niat yang tulus dan iklas.
 
Jangan sampai rakyat dibutuhkan hanya saat ada kepentingan pribadi atau kelompok saja, ini sering terjadi di saat masa-masa pemilihan umum. Bahkan, sang calon pemimpin rela duduk lebih rendah dari rakyat, malah ada yang merendahkan dirinya hanya untuk melayani, mencari simpati rakyat. Tapi, di saat tidak lagi masa Pemilu maka suara rakyat pun dicampakkan, sudah dianggap tak bernilai dan tak dibutuhkan lagi. Anehnya, kalau suara atau kepentingan investor atau pemilik modal, maka dua tangan akan selalu terbuka setiap saat dengan senyum lebar yang ditahan.
 
Warga yang sedang berdemo maupun sang investor atau pemilik modal sebenarnya sama-sama manusia, hanya garis tangannya saja yang berbeda. Artinya, di mana hati nurani para pengambil kebijakan di saat warganya menuntut hak-hak hidup di tanahnya sendiri. Mengapa orang yang baru dikenal hanya karena membawa keuntungan justru lebih cepat dilayani bak tuan besar.
 
Tak heran, kehidupan berbangsa dan bernegara belakangan ini semakin hari seakan berjalan menuju lorong gelap demokrasinya. Produk hukum banyak sekali melukai rasa keadilan. Pengelolaan ekonomi dan sumber daya alam gagal menyejahterakan rakyat. Integritas diri para pengambil kebijakan publik hilang oleh godaan nikmatnya kursi kekuasaan. Artinya, persoalan ini telah mengarah pada lemahnya karakter sebuah hidup bangsa. Keprihatinan yang lebih mendasar, semakin terabaikannya suara rakyat dan tidak dibukanya ruang bagi partisipasi suara rakyat. Ini yang cukup memprihatinkan.  

Sumber : Koran harian umum tabengan.  15 Juli 2011, halaman Opini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar