=="BERDAULAT SECARA POLITIK, MANDIRI SECARA EKONOMI, BERMARTABAT SECARA BUDAYA==

Selasa, 22 Maret 2011

HARI KEBANGKITAN MASYARAKAT ADAT NUSANTARA & 12 TAHUN ALIANSI MASYARAKAT ADAT NUSANTARA (AMAN), 17 Maret 2011


Dalam rangka menyambut Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara ke – 12 pada tanggal 17 Maret 2011, PW AMAN Kalimantan Tengah telah melaksanakan diskusi yang bertemakan Perubahan Iklim dan Masyarakat Adat bertempat di Sekretariat BPHW Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kalteng (Kantor LDP), Palangka Raya, Kalimantan Tengah, pada tanggal 12 Maret 2011, yang dihadiri beberapa NGO lokal, BEM dan MAPALA UNPAR serta perwakilan Kerasulan Keadilan. 

Dalam sambutan pengantar diskusi, Ketua BPH AMAN Kalteng,Simpun Sampurna, menyatakan bahwa isu yang sedang hangat dibahas sekarang ini adalah tentang REDD (Reducing Emission from Deforestation dan Forest Degradation), namun hingga saat ini belum ada payung hukum yang jelas tentang proyek REDD.  Masyarakat Adat seharusnya perlu mengetahui informasi tentang proyek tersebut, sehingga menjadi dasar/ landasan yang kuat untuk menerima atau menolak proyek REDD dan melalui diskusi tersebut dapat diperoleh masukan yang konstruktif guna membantu advokasi terhadap Masyarakat Adat kedepannya. Sementara dari perwakilan Lembaga Dayak Panarung, Mastuati, mengungkapkan bahwa perubahan iklim yang mengakibatkan perubahan cuaca yang ekstrim dapat menganggu ketahanan pangan. Masyarakat Adat lah yang paling rentan merasakan dampak tersebut karena mereka sangat tergantung terhadap SDA. Dalam prakteknya, Masyarakat Adat dalam pengelolaan SDA menggunakan prinsip kearifan lokal, mereka tidak hanya memanfaatkan hasil SDA namun turut serta menjaganya.

Terkait Kalimantan Tengah yang terpilih sebagai Pilot Province proyek REDD, Mariaty A. Niun sebagai narasumber memaparkan perlu adanya kesiapan yang matang dari Masyarakat Adat agar dapat terlibat secara langsung dalam proyek REDD tersebut. Karena hingga saat ini,masih terdapat kompleksitas dalam implementasi REDD termasuk di tingkat lokal yaitu : Bagaimana memastikan pengembang/pelaku proyek REDD menggunakan prinsip FPIC, territory Masyarakat Adat vs batas administrasi Negara, siapa yang mendapat keuntungan,siapa pengelola, siapa yang dapat memastikan hak kepemilikan Masyarakat Adat atas hutan, hak atas akses terhadap hutan serta memastikan Masyarakat Adat tidak terusir dari wilayahnya, serta siapa yang dapat memastikan agar tidak terjadi konflik atas Masyarakat Adat itu sendiri terkait proyek REDD. 

Namun disisi lain, ada pandangan berbeda tentang REDD dari peserta lainnya. Seperti yang di ungkapkan Fandi perwakilan dari Walhi Kalteng, bahwa konsep REDD tidak menjawab persoalan Perubahan Iklim. Karena tidak adanya keadilan iklim antara Negara Utara dan Negara Selatan karena Negara Selatan diminta menjaga hutan sementara Negara Utara sendiri tidak ada komitmen untuk mengurangi emisi CO2 padahal kenyataannya mereka lah penyumbang terbesar emisi CO2. Terkait Kalimantan Tengah sebagai pilot province proyek REDD, skema pendanaannya belum jelas, tanpa moratorium hutan, REDD tidak akan berfungsi karena keadaan hutan sekarang mengalami krisis. Hal serupa yang diungkapkan oleh  Pastur Frans Sani Lake , beliau mengungkapkan bahwa seharusnya AMAN secara langsung mengatakan No terhadap REDD serta proyek yang tidak berpihak kepada Masyarakat Adat yang marginal lainnya dan menyerukan penghentian penebangan hutan bukan hanya sekedar moratorium semata serta hargailah Masyarakat Adat yang menjaga SDA nya dengan memberi reward.

Menanggapi hal tersebut, AMAN memiliki sikap konsisten terhadap REDD itu sendiri, yaitu jika tidak ada pengakuan terhadap hak – hak Masyarakat Adat maka tidak akan ada REDD. AMAN sebagai wadah perjuangan Masyarakat Adat bertanggung jawab  mensosialisasikan kepada Masyarakat Adat tentang informasi proyek REDD baik dampak positif dan negative secara berimbang sehingga pada akhirnya Masyarakat Adat lah yang berhak penuh menolak atau pun menerima proyek tersebut. PW AMAN Kalteng turut menyerukan dan mendorong para pihak pemangku kepentingan terutama pada proyek REDD agar memperhatikan Masyarakat yang berada di wilayah proyek REDD dengan menjadikan mereka sebagai penerima manfaat secara langsung dari pendanaan REDD bahkan Masyarakat  Adat yang wilayahnya tidak sebagai site proyek REDD namun terdata telah menjaga hutan dan lingkungannya, menanam pohon, harus di masukkan sebagai penerima manfaat pendanaan  REDD (penghargaan/reward). Diharapkan proyek REDD tidak  hanya memprioritaskan  wilayah hilir yang mempunyai lahan gambut  namun harus diperhatikan juga wilayah hulu lainnya agar terjaga keseimbangan ekosistem.                                                                                                                                                                                                                                                                                          
Sebagaimana mandat konstitusi, Masyarakat Adat merupakan salah satu unsur yang tidak boleh diabaikan hak-haknya berdasarkan asal usul yang melekat sebagai manusia maupun warga negara Indonesia sebagaimana cita-cita luhur didirikannya negara ini.

Sebagai bagian dari rakyat dan warga Negara Indonesia, Masyarakat Adat telah dijamin hak – hak adatnya sebagai hak konstitutional sebagaimana telah diamanatkan dalam Pasal 18 B Ayat (2) dan Pasal 28 I Ayat (33) UDD 1945 dan seiring dengan disahkannya hak-hak universal Masyarakat Adat oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau yang dikenal dengan United Nations Declaration Right Indigenous Peoples (UNDRIP) sebagai konvensi oleh sidang umum PBB. Dalam piagam tersebut di atur hak-hak Masyarakat Adat pada Tanah, Bahasa, Sistem Kehidupan dan hak-hak dasar lainnya yang seharusnya menjadi acuan bagi seluruh bangsa-bangsa untuk menghormati dan memenuhinya. Indonesia sebagai salah satu Negara yang ikut menandatangani deklarasi tersebut, seharusnya sudah menjadikan deklarasi tersebut sebagai aturan dasar dalam berbagai kebijakannya yang menyangkut Masyarakat Adat di Indonesia.

Berdasarkan pasal 7 dan 11 Undang-undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah yang telah diubah dengan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, diberikan kewenangan kepada Kabupaten/Kota untuk merumuskan dan membuat kebijakan daerah yang memberi ruang yang lebih besar untuk memberikan perlindungan terhadap Masyarakat Hukum Adat dan hak atas kepemilikan tanah ulayat. Maka, Pemerintah Daerah Kalimantan Tengah telah menggunakan wewenang tersebut untuk memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap Masyarakat  Adat, hal ini terlihat dari dikeluarkannya Perda Perda No. 16 / 2008 tentang KEDAMANGAN dan Pergub No. 13/2009 tentang TANAH ADAT.

Dijiwai oleh semangat tersebut, AMAN Kalteng meminta semua pihak untuk mendorong diberlakukannya secara total deklarasi hak-hak masyarakat adat di Indonesia dengan segera meratifikasi RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat oleh DPR dan Pemerintah yang sedang digodok di Prolegnas (Program Legislasi Nasional)  serta menyuarakan agar segera mengamandemen UU No. 41 / 1999 tentang Kehutanan agar mengembalikan hutan adat kepada MA yang mewarisinya dari leluhur dan memisahkan fungsi hutan dengan status penguasaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar