=="BERDAULAT SECARA POLITIK, MANDIRI SECARA EKONOMI, BERMARTABAT SECARA BUDAYA==

Rabu, 19 Januari 2011

Warga Sebangau Tuntut PT SCP

19-01-2011 00:00  
Harian Umum Tabengan,   PALANGKA RAYA

Keberadaan perkebunan kelapa sawit di Kapupaten Pulang Pisau menuai protes. PT SCP dinilai tidak memberikan ganti rugi lahan yang layak kepada warga Desa Panduran, meski perusahaan mengaku telah memberikan tali asih.

Puluhan warga Desa Panduran, Kecamatan Sebangau Kuala, Kabupaten Pulang Pisau mendatangi Gedung DPRD Kalteng menuntut perusahaan kelapa sawit PT Suryamas Cipta Perkasa (SCP) di wilayah itu yang dinilai tidak konsisten dalam merealisasikan ganti rugi lahan. Di samping itu, warga mempertanyakan status izin perusahaan yang mereka anggap ilegal.

Pertemuan yang berlangsung pukul 09.00 WIB di Ruang Rapat Gabungan DPRD Kalteng ini difasilitasi sejumlah anggota Komisi B DPRD Kalteng di antaranya Wakil Ketua Komisi B selaku Pimpinan Rapat Walter S Penyang dan anggota Komisi, Punding LH Bangkan, Sunwani Pesel, Rahmat Nasution Hamka, Saidah, dan Iwan Kurniawan.

Dalam pernyataannya, warga Sebangau melalui fasilitator Ketua Komisi I DPRD Kabupaten Pulang Pisau  Nurdin mengungkapkan, PT SCP dalam menjalankan usahanya tidak memberi kontribusi maksimal kepada warga sekitar.

Menurutnya,  perusahan yang berdiri sejak tahun 2008 itu tidak pernah  mengikutsertakan warga desa dalam program petani plasma, belum melunasi kewajiban membayar ganti rugi terhadap warga, dan membawa dampak kerusakan lingkungan, lantaran pembukaan lahan secara besar-besaran.

Dampak yang dirasakan warga, di antaranya sering dilanda banjir, tanaman pertanian masyarakat seperti padi, sayur-mayur, dan buah-buahan mengalami gagal panen. “Warga Sebangau sudah sering melakukan mediasi langsung ke PT SCP, namun tidak pernah ada realisasinya meski difasilitasi Pemkab Pulang Pisau. Memang telah dibentuk tim mediasi Pemkab Pulang Pisau, namun tidak menghasilkan apa-apa hingga sekarang,” katanya.

Perwakilan warga M Rosyid mempertanyakan apakah perusahaan sudah memiliki izin yang sah seperti analisa mengenai dampak lingkungan (Amdal) dan izin prinsip. Pasalnya, mulai dari awal rencana pembangunan, pihak PT SCP tidak pernah turun ke lapangan untuk melakukan sosialisasi terhadap warga. 
Dan seiring berjalannya waktu, warga juga mengeluhkan upah yang dinilai jauh dari standar pengupahan nasional.

“Kami juga mempertanyakan realisasi ganti rugi yang sampai sekarang belum diterima. Kami meminta ketegasan, apakah perusahaan bersedia membayar atau tidak. Kalau setuju bayar, mari lakukan perjanjian tertulis agar tidak ingkar lagi,” tegasnya. Pria paruh baya ini mengingatkan, warga tidak segan-segan mengambil kembali lahannya bila PT SCP tetap tidak konsisten.

Menanggapi hal  itu, sejumlah anggota Komisi B angkat bicara. Anggota DPRD Kalteng asal Dapil V (Kapuas dan Pulang Pisau) Punding LH Bangkan menegaskan, perusahaan sudah seyogyanya mengutamakan kesejahteraan warga sekitar usaha dengan memberikan kontribusi. Apabila dalam realisasinya justru PT SCP lebih banyak mendatangkan kerugian daripada manfaat, maka perlu dipertimbangkan lagi.

Saidah menambahkan, diakui atau tidak, pembangunan perkebunan besar swasta (PBS) kelapa sawit di Pulang Pisau ini telah berdampak besar pada kerusakan lingkungan. Berdasar hasil reses beberapa waktu lalu di Dapil V, Saidah menuturkan kembali kisah sedih sebagian masyarakat yang merasa tidak mampu lagi menggantungkan hidup dari hasil pertanian dan perkebunan rakyat.

“Ada seorang ibu yang dulunya mampu mendapatkan uang sekitar Rp100 ribu per hari dari menjual hasil kebun kini mengeluh, untuk mendapatkan uang Rp25 ribu dalam sehari saja sangat susah. Pasalnya, pembukaan lahan besar-besaran, hewan liar seperti babi dan anjing hutan lebih banyak memakan hasil perkebunan rakyat karena sumber makanannya di hutan sudah tidak ada lagi,” urainya.

M Mahdi, perwakilan PT SCP memaparkan, sejauh ini perusahaan sudah melaksanakan semua prosedur sesuai ketentuan pemerintah pusat dan mengantongi izin prinsip serta Amdal dari Pemkab Pulang Pisau. Dia memaparkan, areal usaha PT SCP berkisar 23 ribu hektar, sekitar 14.600 ha lahan sudah mendapat kesepakatan dengan masyarakat. Terkait pelaksanaan program plasma, diakui Mahdi, belum direalisasikan karena pelaksanaannya baru dicanangkan baru-baru ini.

“Kami sudah mengantongi izin lokasi dan izin perusahaan perkebunan namun hingga kini masih belum final untuk izin pelepasan kawasan hutan karena terkendala RTRWP,” tegas pria yang mengaku perantauan di Kalteng.

Diungkapkan pula, pada 7 Mei 2009 lalu telah dilakukan rapat bersama jajaran Pemkab Pulang Pisau dan disepakati beberapa poin. Di antaranya, besaran tali asih atas sungai atau tatah sebesar Rp50 ribu per meter kuadrat, besaran tali asih atas tanah dan tanam tumbuh sebesar Rp500 ribu per hektar.

Di samping itu, data-data  yang masuk akan diverifikasi dan dikonversi ke peta kendali untuk dilakukan pengecekan lapangan atas kebenarannya dan penyelesaian tuntutan diselesaikan berdasarkan azas musyawarah mufakat dan kekeluargaan.

Sedangkan Kepala Dinas Perkebunan Kalteng Erman P Ranan pada kesempatan yang sama memaparkan, pada dasarnya masalah ini bisa diselesaikan secara mufakat antarpihak, tanpa harus melibatkan pemerintah dan DPRD Kalteng. “Sebenarnya penanganan sengketa lahan ini akan cepat selesai kalau dua belah pihak memiliki niat yang sama. Tidak perlu ngotot-ngototan seperti ini,” katanya.

Erman berpendapat, pemberian sejumlah dana dalam bentuk tali asih tersebut bukan termasuk ganti rugi. Karena itu, warga berhak untuk tetap menuntut ganti rugi di luar tali asih yang disepakati PT SCP ini. “Tali asih ini hanya sebagai program CSR (corporate social rensponsibility) dari perusahaan, sehingga warga berhak tetap menuntut uang ganti rugi yang sesuai. Dan pembayaran tali asih ini  dilakukan setelah perusahaan berproduksi, kalau masyarakat menagih sekarang, tentu salah,” tambahnya.

Bentuk Tim Investigasi
Pertemuan yang berlangsung empat jam itu akhirnya menghasilkan keputusan sementara dengan pembentukan tim investigasi yang bertugas mencari bukti otentik, terkait masalahan perizinan perusahaan, kondisi masyarakat hingga apa saja yang menjadi kendala di lapangan.

Menurut Punding, permasalahan sengketa antara warga Sebangau dan PT SCP dinilai cukup rumit sehingga memerlukan tim untuk mengakomodir. Pembentukan tim ini sifatnya bukan menyelesaikan masalah, melainkan mencari fakta dan bukti di lapangan dan hasilnya menjadi faktor penentu dalam mengambil keputusan. “Kita mau melihat faktanya, ada apa sih di dalam. Karena, ada yang mengaitkan dengan upah di bawah UMR (upah mimimum regional), ada yang menyatakan pembukaan lahan melebihi luasan yang diizinkan maksimal 20 ribu ha,” kata Punding kemudian.ris

Sumber : Koran Tabengan tanggal 19 Januari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar